Perselisihan Konflik Arab Saudi dan Iran yang Kian Memanas

Arab Saudi dan Iran merupakan dua negara Arab di Timur Tengah yang memiliki hubungan cukup kompleks. Hubungan kedua negara ini selalu dilandasi dengan konflik, ketegangan, bahkan persaingan kekuatan khususnya pasca Arab Spring yang terjadi di Suriah. Konflik Arab Saudi dan Iran ini salah satunya didorong oleh perbedaan corak ideologi antar kedua negara tersebut, dimana Sunni yang diwakili oleh Arab Saudi di kawasan Timur Tengah memainkan perang yang sangat signifikan di sejumlah bbidang. Di sisi lain, Syiah yang diwakili Iran baru-baru ini tengah berusaha untuk menunjukkan kekuatannya dengan memperluas pengaruhnya di Timur Tengah.

Hingga sampai saat ini Arab Saudi dan Iran memanas, dimana mereka bersaing satu sama lain secara ketat untuk memberikan pengaruhnya sebagai wujud penyeimbang kekuatan di Timur Tengah dimana salah satu bentuknya ialah keterlibatan kedua negara dalam konflik Suriah.

Bagaimana awal mula Perselisihan antara Sunni dan Syiah ? 

Arab Saudi dengan corak Sunni dan Iran dengan corak Syiah, keduanya memiliki sejarah hubungan yang sangat panjang serta dilandasi dengan berbagai perselisihan. Konflik yang tak kunjung usai antara Sunni dan Syiah telah berlanjut hampir 1.400 tahun setelah pertengkaran awal. Perselisihan tersebut diawali dengan peristiwa ketika wafatnya Nabi Muhammad sehingga menimbulkan pertanyaan siapa yang harus menggantikan Nabi Muhammad pada kala itu. Apakah harus diteruskan melalui garis keturunan (Syiah imam) atau pemilihan (Sunni kekhalifahan). Setelah perpecahan itu telah menimbulkan perbedaan pandangan dari kedua sekte tersebut, namun pada dasarnya keduanya merupakan bagian dari agama Islam. Pada umumnya kedua sekte Sunni dan Syiah mempercayai dan menerima tauhid, mengikuti lima rukun Islam, membaca Al-Qur'an. Meskipun keduanya memang memiliki pemahaman yang mungkin berbeda dan menimbulkan ketegangan bagi kedua sekte tersebut. Perpecahan antara Sunni dan Syiah telah menggabungkan beberapa perbedaan pandangan agama dengan geopolitik terutama yang terjadi di Timur Tengah.

Seiring berjalannya waktu, permusuhan, perselisihan, dan bahkan perebutan kekuasaan mengiringi hubungan Sunni dan Syiah sebagai latarbelakangnya. Banyak peristiwa yang terjadi di balik kemunculan dan perkembangan kerajaan kerajaan Islam di wilayah Arab yang disebabkan oleh polemik agama. Sekte Sunni dan Syiah sering kali bertikai dalam memperebutkan pengaruhnya dalam sebuah kerajaan Islam. Hal ini didorong dengan niatan kedua sekte tersebut yang ingin berpengaruh di bidang agama, politik, dan sosial budaya.

Hal ini dikarenakan, semakin kuat efek yang mereka miliki maka semakin kuat kekuatan yang bisa dikumpulkan dibandingkan dengan kelompok lain. Bahkan pengaruh dominasi mereka dapat memiliki peran penting dalam menentukan kebijakan pemerintah. Hal tersebut terjadi dalam konflik antara kedua kerajaan Utsmaniyah dan Safawi dilatarbelakangi karena adanya perbedaan keyakinan yang dianut dalam hal ini sekte Sunni yang diyakini oleh Kesultanan Utsmaniyah, sedangkan di sisi lain Kekaisaran Safawi lebih dominan mempercayai sekte Syiah.

Perpecahan perpecahan yang terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad di dunia Muslim atas persoalan kepemimpinan telah menyebabkan perang saudara. Kedua sekte yang dikenal dengan Sunni dan Syiah saling membenci dan perpecahan permanen tercipta sejak saat itu. Perpecahan antara Sunni dan Syiah tidak hanya didasarkan pada agama saja, akan tetapi perpecahan oleh politik. Sunni yang diwakili oleh Arab Saudi dan Syiah yang diwakili oleh Iran keduanya berusaha untuk melawan satu sama lain di garis Sunni Syiah dan bukan atas kebencian agama, melainkan mereka melihat sektarianisme ini sebagai alat yang bisa mereka gunakan.

Apa saja bentuk nyata dari persaingan ataupun Perselisihan antara Arab Saudi dan Iran ?

Terdapat beberapa peristiwa yang menggambarkan persaingan serta perselisihan antara Arab Saudi dan Iran. Persaingan antara Arab Saudi dan Iran ini diyakini merupakan refleksi dari perselisihan antara Sunni - Syiah yang lama telah memecah umat Islam. Persaingan kedua negara di Timur Tengah ini, dipahami sebagai akibat dari persoalan ideologis dan geopolitik karena sejarah hubungan yang tegang antara keduanya. Selain itu kedua negara memiliki masalah domestik utama dimana dalam hal ini ialah membangun identitas yang berbeda. Maka dari itu kedua negara berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup dimana mereka menggunakan simbol politik dan agama untuk bertahan hidup dan untuk mengamankan kekuasaan mereka. Hal ini lah yang menggambarkan hubungan antara Arab Saudi dan Iran di Timur Tengah.

Baca Juga : Geger Arab Saudi Mengadakan Pesta Besar dan Sejumlah Perubahan

Iran memiliki ambisi dan kegigihan yang besar sebagai negara Muslim mayoritas Syiah dimana ia memandang dirinya sebagai inti dunia Muslim. Selain itu, Iran juga menganggap dirinya sebagai pemimpin perlawanan terhadap pengaruh Barat di kawasan Timur Tengah. Hal inilah yang melahirkan semangat revolusioner Iran. Namun, pemikiran revolusioner dan ideologis Iran mempengaruhi hubungan Iran dengan Arab Saudi di berbagai bidang, seperti salah satu implikasinya pada permasalahan haji. Setelah Revolusi Islam, haji bukan hanya sebagai ziarah keagamaan tetapi menjadi maslaah keamanan dan politik karena adanya peristiwa demonstrasi politik. Selain demonstrasi, Iran juga sering melakukan serangan verbal dan eksplisit kepada kerajaan Saudi. Ketegangan hubungan antar kedua negara akhirnya menyebabkan putusnya hubungan diplomatik kedua negara pada tahun 1988 yang berlangsung selama tiga tahun.

Perselisihan kedua negara juga berlanjut dengan melibatkan Dewan Kerjasama Teluk atau yang biasa dikenal dengan GCC. Perlu diketahui bahwa Arab Saudi menganggap GCC dan kawasan sebagai lingkup pengaruhnya, akan tetapi di sisi lain Iran berambisi untuk menjadi pemain regional dan mencoba untuk menyebarkan lingkup pengaruhnya di wilayah Teluk. Wilayah Teluk sendiri sangat penting dalam hal geografis dan segala potensi kekayaan dalam hal sumber daya minyak. Faktor ideologis telah meningkatkan tingkat konflik di Teluk dimana Iran telah berusaha untuk memperluas pengaruhnya di Teluk dengan pendudukan tiga pulau Emirat, mengganggu urusan internal negara negara GCC, dan terlibat dalam krisis Yaman dan Suriah. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa Iran memiliki tujuan akhir untuk menjadi kekuatan regional yang tentu hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi Arab Saudi.

Selain itu, hubungan antara Arab Saudi dan Iran yang dilandasi dengan ketegangan dan persaingan juga terjadi ketika Ayatollah Khomeini sebagai salah satu tokoh revolusi Iran yang menyatakan bahwa monarki tidak islami dan dia menentang sistem ini di seluruh Timur Tengah yang terdiri dari Arab Saudi, Bahrain, UEA, Kuwait, Atar, Irak Saddam Hussein, Suriah, dan beberapa kerajaan kecil lainnya yang memiliki sistem pemerintahan monarki di bawah seorang raja. Dari hal itu, membuat negara negara tersebut khususnya Arab Saudi menganggap ambisi Iran sebagai ancaman bagi ideologi mereka dan menganggap bahwa Iran ingin mengekspor revolusi di tingkat regional.

Memang Apa yang terjadi di Suriah ?

Suriah merupakan sebuah negara yang terletak di Asia Barat namun seringkali disebut sebagai salah satu negara yang terletak dikawasan Timur Tengah. Negara Suriah atau yang biasa dikenal dengan nama lengkap Republik Arab Suriah ini menganut sistem pemerintahan Republik Presidensial. Suriah sendiri juga terkenal dengan konflik yang berkepanjangan yang terjadi di negaranya sejak tahun 2011.

Pecahnya Konflik Suriah pada 2011 dapat dikatakan sebagai efek dari Arab Spring. Peristiwa Arab Spring merupakan gerakan massa revolusi dan protes di dunia Arab yang dimulai di Tunisia dimana seorang pedagang kaki lima yakni Mohammed Bouazizi membakar dirinya sebagai protes terhadap kebrutalan polisi atau pemerintahan. Peristiwa inilah yang menggerakkan rantai pemberontakan yang melanda di beberapa negara Arab, termasuk Suriah. Oposisi Suriah didirikan dengan tujuan untuk berjuang dalam mengakhiri kekuasaan Assad dan keluarganya yang dianggap berusaha untuk menghancurkan gerakan protes dengan kekerasan.

Konflik yang terjadi di Suriah khususnya pada pemerintahan rezim Bashar al-Assad akan mengalami nasib yang sama seperti yang dialami oleh Hosni Mubarak dari Mesir dan Zine el-Abedine Ben Ali dari Tunisia. Namun, konflik Suriah berkembang ke arah demonstrasi dan perang saudara, sementara berbeda dengan pemberontakan yang terjadi pada Arab Spring di Tunisia, Mesir, dan Yaman yang jauh dari kata perang saudara. Koflik suriah ini akan menjadi jauh lebih dari masalah polarisasi dan tingkat sektarian yang lebih tinggi dibandingkan identitas pan-Arab. Sehingga pada akhirnya konflik Suriah ini akan memperburuk kekerasaan antar sektarian di Timur Tengah dimana hingga 2014 belum ada penyelesaian konflik yang berkelanjutan ini. Kaum Sunni, Syiah, dan Kurdi berusaha untuk saling mengambil keuntungan dari konflik Suriah dengan memajukan tujuan mereka di tengah meningkatnya kekerasan di antara pihak-pihak yang bermusuhan.

Baca Juga : Ini Faktor Penyebab Munculnya Arab Spring

Kompleksitas yang tinggi dalam konflik Suriah ini diakibatkan karena banyaknya pihak-pihak eksternal yang terlibat dalam konflik ini. Memang pada awalnya konflik Suriah dimulai sebagai revolusi melawan rezim otoriter namun kini berubah menjadi perang proksi regional yang melibatkan banyak negara. 

Beberapa orang meyakini bahwa agama memainkan peran yang menentukan dalam konflik Suriah. Konflik tersebut telah menjadi sektarian terang-terangan dibeberapa bagian negara yang melibatkan pemerintah dan oposisi Suriah yang terpecah. Iran mewakili populasi Muslim Syiah terbesar di dunia, sementara pemerintah Suriah didominasi oleh Alawi sebuah cabang Syiah, dan di lain sisi para pemberontak didominasi oleh Sunni. 

Prospek kedepan terkait konflik Suriah mungkin bisa terselesaikan jika konferensi internasional Jenewa II tentang Suriah terwujud, maka itu mungkin merupakan kesempatan terakhir untuk menghentikan Perang Saudara di Suriah. Jika gagal, maka konflik Suriah akan menyebar seperti api ke seluruh wilayah. Salah satu solusi mungkin adalah Prinsip Panduan berdasarkan teks asli Jenewa dimana semua pihak berkomitmen atas integrasi teritorial Suriah, ketentuan transisi politik, penghentian kekerasan, tidak ada militerisasi lebih lanjut, dan akses untuk bantuan kemanusiaan.

Lalu, Apa yang menyebabkan keterlibatan Arab Saudi dan Iran pada konflik Suriah ?

Menggebunya keterlibatan kedua negara besar ini dalam konflik Suriah menimbulkan tanda tanya besar, sebenarnya apa yang melatarbelakangi antusias tinggi kedua negara dalam keterlibatannya pada konflik Suriah. Sejatinya kedua negara ini sering menggunakan agama sebagai geopolitik dimana terlihat perbedaan paling jelas antara Arab Saudi dan Iran ialah perbedaan agama khususnya Sekte Sunni dan Syiah. Setelah revolusi Iran, Iran memiliki visi revolusioner dengan menempatkan dirinya sebagai pijakan untuk menginspirasi dan memobilisasi komunitas Syiah lainnya di luar perbatasan Iran. Di sisi lain, Arab Saudi dengan 90% penduduknya adalah Sunni berusaha untuk mewaspadai segala tindakan Iran khususnya dalam konflik yang terjadi di Suriah.

Interaksi antara dua kekuatan regional yang hadir dalam konflik Suriah, yakni Iran yang mendukung rezim Assad dan di sisi lain, Arab Saudi yang mendukung oposisi merupakan dukungan yang memiliki unsur politik identitas (sektarian) dan geopolitik (kontestasi hegemonik regional). Berbagai dukungan kedua negara telah disalurkan dalam konflik Suriah di mana sejak tahun 2013, Iran yang merupakan salah satu pendukung terbesar dari rezim Assad, memberikan bantuan besar dalam bentuk senjata, pelatihan, pembiayaan, dukungan politik, dan bahkan personel militer. Pada pihak oposisi, Arab Saudi beserta Qatar dan Turki memberikan dukungan yang signifikan dengan mengirimkan pembiayaan, propaganda politik, dan senjata. Namun tidak seperti Iran yang berada dipihak rezim, pasokan senjata yang dikirim untuk pihak oposisi terbatas karena faktor kekhawatiran akan takutnya senjata canggih jatuh ke tangan para ekstremis.

Selain itu, terdapat alasan mengapa Iran turut ikut melibatkan dirinya ke dalam konflik Suriah serta membedakan gerakan Arab Spring di Suriah dengan yang terjadi di Tunisia dan Mesir yang membuat Iran mendukung rezim Bashar Al-Assad dalam konflik Suriah. Hal ini dikarenakan Suriah adalah satu-satunya negara Arab yang berkomitmen pada Iran. Iran memandang Suriah sebagai mitra strategisnya khususnya dalam menyalurkan bantuan pengiriman senjata dan dukungan material kepada kelompok radikal Syiah Lebanon, Hizbullah untuk menghadapi Israel. Kemudian perubahan rezim di Suriah juga akan berdampak pada keamanan Irak yang merupakan sekutu lain Iran di kawasan itu.

Dan alasan yang paling penting adalah fakta bahwa runtuhnya rezim Suriah bisa membuka jalan bagi munculnya rezim Sunni dan tatanan regional baru yang pada dasarnya memusuhi Iran. Suriah merupakan satu-satunya negara Arab dan Islam di dunia selain Iran yang dipimpin oleh Sekte Syiah atau Alawi. Oleh karena itu, mendukung Suriah sangat diperlukan untuk kepentingan Iran dalam memproyeksikan pengaruh regional dan memastikan keamananya.

Di sisi lain, Arab Saudi merasa perlu terlibat dalam konflik Suriah ini yang dilatarbelakangi oleh kepentingannya. Terlihat bahwa Keterlibatan Arab Saudi dalam konflik Suriah merupakan bentuk kekhawatiran dan caranya untuk berusaha membendung pengaruh Iran di kawasan Timur Tengah. Dominasi Iran di Suriah ini menimbulkan istilah Bulan Sabit Syiah yang merupakan penyebaran pengaruh regional membentuk seperti sabit mulai dari perbatasan Afghanistan sampai laut Mediterrania. Hal ini yang membuat kekhawatiran sejumlah negara negara Timur Tengah yang penduduknya mayoritas Muslim Sunni, khususnya Arab Saudi.

Baca Juga : Arab Saudi Hadirkan Ka'bah di Metaverse Terkait Konsep Haji Virtual, Berikut Penjelasannya

Keterlibatan kedua negara ini dalam konflik Suriah terkait dengan landasan ideologi dan persaingan kedua negara yang telah terjadi sejak lama. Singkatnya, Iran yang mendukung pemerintah Suriah dalam menghadapi pemberontakan selain karena faktor kesamaan Sekte Syiah/Alawi, Iran juga menganggap Suriah sebagai mitra yang strategis untuk kepentingannya. Sedangkan Arab Saudi turut terlibat dalam konflik ini merupakan bagian dari upayanya untuk mencegah penyebaran Syiah di kawasan Timur Tengah yang dimotori oleh Iran.

Sekali lagi, bahwa faktor penting yang melatarbelakangi keterlibatan Arab Saudi dan Iran adalah persaingan dalam memperluas pengaruh Sekte Sunni dan Syiah sebagai geopolitik di kawasan Timur Tengah. Iran yang mewakili Syiah dengan ambisi revolusionernya berusaha untuk memperkuat posisinya dengan memperluas pengaruhnya di Timur Tengah. Dengan terlibatnya dalam konflik Suriah yang mendukung rezim, Iran dapat menjadikan Suriah sebagai patnernya dalam memenuhi kepentingan nasionalnya. Di lain sisi, Arab Saudi yang mewakili Sunni merasa khawatir akan kekuatan Iran yang terus meningkat. Sehingga menjadi sebuah keharusan bagi Arab Saudi untuk terlibat dalam konflik Suriah guna membendung pengaruh Iran di kawasan regional.

Belum ada Komentar untuk "Perselisihan Konflik Arab Saudi dan Iran yang Kian Memanas"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel