Konflik Laut China Selatan, Bagaimana Tantangan dan Solusinya ?

Penetapan sejumlah batas wilayah antar negara yang meliputi laut dalam aturannya selalu mempertimbangkan bentuk akibat dan sejumlah pertimbangan lain agar semua kepentingan dapat sama-sama berjalan. Bagi sejumlah negara yang berbatasan wilayahnya dengan wilayah negara lain, maka harus dibentuk sebuah kesepakatan-kesepakatan karena tidak bisa ditentukan secara sepihak. Pengaturan batas-batas laut telah diatur dalam United Nations Convention on Law of The Sea atau biasa disingkat dengan UNCLOS pada tahun 1982 sebagai pedoman hukum maritim internasional.

Pengaturan wilayah laut dalam UNCLOS diatur melalui penarikan garis pangkal dengan kondisi geografis negara pantai. Selain itu, hukum internasional tersebut juga didasarkan pada kehendak bebas dan persetujuan dari beberapa atau bahkan semua negara di dunia yang diharapkan dapat mencakup kepentingan bersama negara-negara. Karena juga didasarkan pada satu aspek saja seperti aspek sejarah, maka akan mendatangkan banyak permasalahan seperti yang terjadi pada Konflik Sengketa Laut China Selatan.

Apa yang Sebenarnya Terjadi dalam Konflik Sengketa Laut China Selatan ?

Kawasan Asia Pasifik sebagai wilayah yang memiliki laut luas telah dihadapkan pada kondisi ketegangan dan juga konflik. Isu Konflik Laut China Selatan telah menjadi tumpuan geopolitik bagi sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik yang menjadi perbincangan di tingkat internasional karena telah menyebabkan konflik antara beberapa negara besar Asia dengan sejumlah negara anggota ASEAN. Perselisihan antara sejumlah negara tersebut mempengaruhi kondisi stabilitas keamanan di kawasan Asia, bahkan aksi unjuk kekuatan militer telah dilakukan oleh negara-negara yang bertikai.

Baca Juga : Peran Indonesia dalam Membantu Penyelesaian Konflik Laut China Selatan

Konflik Laut China Selatan sangat erat kaitannya dengan kepentingan China yang ingin memperluas wilayahnya dengan peta sepihak. Hal ini tidak terlepas dari kepentingan ekonomi, strategis, dan politik China atas klaim sembilan garis putus-putus yang berada di wilayah Laut China Selatan. Tuntutan terkait klaim China itu didasarkan atas aspek historis dan geografis negaranya. Secara historis, China menceritakan bahwa wilayah tersebut telah dikuasai secara efektif dan dimanfaatkan oleh orang-orang China sebelumnya. Oleh karena itu, China merasa negaranya perlu menguasai wilayah tersebut sebagai penerus tunggal. Namun hal tersebut menjadi tumpang tindih dengan wilayah negara lain yang sudah ditetapkan melalui Hukum Laut Internasional atau UNCLOS 1982.

Wilayah sengketa Laut China Selatan ini ini sangat luas dan terdiri dari pulau-pulau yang tersebar begitu jauh satu sama lain. Namun, wilayah yang banyak menyita perhatian mencakup dua pulau utama, yaitu Spratly dan Paracels. Sejumlah negara yang bertikai merasa berhak dan menuntut kepemilikan atas Kepulauan Spratly seperti China, Brunei Darussalam, Filipina, Jepang, Taiwan, Vietnam, dan Malaysia. Tak bisa dipungkiri bahwa faktor ekonomi yang menjadi salah satu wilayah Laut China Selatan diperebutkan karena kaya akan gas alam, minyak dan juga biota laut. 

Kepentingan hegemoni China di kawasan Laut China Selatan melalui klaim sepihak sembilan garis putus-putus yang sebelumnya telah dikeluarkan pada tahun 1974 merupakan salah satu langkah strategis China untuk memperkuat kekuatan globalnya di kawasan Asia. Untuk itu, China masih mempertahankan posisi klaim sepihaknya dari sebagian wilayah Laut China Selatan. Hal tersebut membuat Filipina mengambil tindakan terhadap kedaulatan di kawasan terumbu karang Scarborough dengan membangun menara di atas karang.

Vietnam juga menyatakan klaimnya atas wilayah Spratly dan Paracels berdasarkan aspek historis dari kerajaan yang ada di Vietnam hingga hak waris pada masa kolonial Amerika Serikat dalam perjanjian damai San Francisco 1951. Di sisi lain, Malaysia dinilai memiliki klaim yang relatif lemah karena didasarkan pada peta laut di mana landas kontinen Spratly dan daratan Sabah cukup dekat. Klaim sepihak untuk daya tawar berada di dalam batas negara dalam negosiasi delimitasi teritorial. Hal ini membuat Brunei Darussalam bersuara, di mana landas kontinen ZEE yang diklaim Malaysia akan tumpang tindih dengan ZEE dan landas kontinen dari hak waris Inggris hingga Pulau Karang Louise.

Baca Juga : AS - China Berkonflik di Wilayah Konflik Sengketa Laut China Selatan

Klaim China atas Laut China Selatan sebagai bagian dari laut mereka, telah menyebabkan sejumlah pertikaian, perselisihan, ketegangan, bahkan konflik yang mengancam stabilitas keamanan kawasan Asia. Klaim China tersebut dianggap tidak mendasar dan tumpang tindih dengan kedaulatan negara lain, terutama negara-negara ASEAN. Oleh karena itu, sejumlah negara bahkan Organisasi Regional seperti ASEAN turut berkecimpung untuk membantu penyelesaian Konflik Laut China Selatan yang dinilai sangat pajang dan rumit.

Adakah Sejumlah Tantangan yang Dihadapi dalam Menyelesaikan Konflik Laut China Selatan ?

Sengketa Laut China Selatan ini telah menjadi rumit, hal tersebut karena sejumlah aksi klaim yang dilakukan oleh sejumlah negara-negara yang terlibat konflik. Aksi klaim-mengklaim ini pada akhirnya akan semakin memaksakan penegak hukum maritim internasional yang harus berdasarkan pada aturan yang telah disepakati bersama oleh negara pengklaim dan negara anggota UNCLOS 1982. Namun, sebuah organisasi internasional ataupun hukum internasional tidak memiliki kapabilitas untuk memaksakan suatu negara agar menuruti hukum internasional yang berlaku.

Selain itu, pertumbuhan dan peningkatan kapabilitas ekonomi dan militer China sangat mengesankan dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini membuat China semakin leluasa aktif dalam berbagai aktivitas atau tindakannya di wilayah yang disengketakan tersebut. Sejumlah aktivitasnya meliputi melakukan reklamasi di sekitar pulau Spratly dan Paracels, melakukan latihan militer, dan juga mengerahkan kapal induk dan kapal selam di wilayah tersebut.

Bagaimana Solusi Penyelesaian Konflik Laut China Selatan ?

Isu sengketa Laut China Selatan yang melibatkan sejumlah negara di Asia Tenggara ini menyebabkan ASEAN sebagai sebuah organisasi regional kawasan Asia Tenggara ikut terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut. Mengingat bahwa ASEAN didirikan dengan tujuan untuk menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan regional yang dilakukan secara bersama-sama antar negara anggota. ASEAN memiliki peran dan komitmen yang dipercaya dapat meredam konflik Laut China Selatan khususnya yang melibatkan negara anggotanya.

Dalam ASEAN terdapat instrumen Treaty of Amity in Southeast Asia (TAC) yang telah diratifikasi oleh semua negara anggota ASEAN. Lahirnya TAC ini mendasari bahwa jika terjadi perbedaan dan ketidaksepakatan kepentingan antar anggota, maka harus diselesaikan secara rasional, efektif, dan dengan prosedur yang memadai guna terhindar dari dampak yang akan membahayakan kerja sama antar negara anggota. Kesepakatan ini harus ditegakan bagi setiap negara anggota yang berkonflik dan penghormatan terhadap tujuan ASEAN yang harus dijunjung tinggi secara konsisten.

Baca Juga : Peran ASEAN dan Indonesia dalam Melawan Isu Terorisme di Asia Tenggara

Selain itu juga, terdapat solusi perdamaian yang ditawarkan oleh sesama negara anggota ASEAN mulai dari ASEAN Managing Potential Conflict in the South China Sea, The Declaration on the South China Sea, The Declaration of Conduct of Parties in the South China Sea Code of Conduct. Kemudian juga terdapat upaya pengajuan gugatan Filipina ke Permanent Court Arbitration secara sepihak. Selain itu, partisipasi negara-negara di luar konflik seperti Amerika Serikat juga turut membantu menyelesaikan solusi dengan cara melakukan operasi rutin "Kebebasan Navigasi" di sejumlah wilayah Laut China Selatan.

Belum ada Komentar untuk "Konflik Laut China Selatan, Bagaimana Tantangan dan Solusinya ?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel