Sri Lanka Memasuki Jurang Krisis Terburuk Dalam Sejarahnya
Sri Lanka merupakan salah satu negara kepulauan yang terletak di kawasan Asia Selatan. Negara yang memiliki penduduk sebanyak 22 juta jiwa tersebut tengah menghadapi krisis ekonomi dan politik yang menyebabkan sejumlah masyarakat Sri Lanka turun ke jalan untuk memprotes kondisi negaranya yang kian terpuruk dan meminta agar sejumlah Kabinet Pemerintahan dan Presiden mengundurkan diri secara massal. Amarah yang telah mendidih selama ini mengubah protes menjadi kekerasan serta membuat pemerintah kacau balau. Pasalnya krisis yang melanda Sri Lanka merupakan krisis terburuk sejak negara tersebut memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1948.
Apa yang Menyebabkan Krisis yang Terjadi di Sri Lanka?
Sri Lanka merupakan salah satu dari sekian banyak negara yang dapat dikatakan cukup bergantung pada barang-barang impor. Sejumlah barang impor tersebut seperti kertas, bahan bakar, makanan, gula, miju-miju, alat transportasi, serta obat-obatan. Karena kekurangan valuta asing, negara tersebut tidak dapat mengimpor sejumlah barang tertentu. Bahkan pemerintah harus menunda ujian bagi jutaan siswa yang disebabkan oleh kekurangan kertas cetak.
Banyak faktor lain yang mempengaruhi anjloknya perekonomian negara kepulauan Asia Selatan itu. Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak pada ekonomi pariwisata negara tersebut yang menyumbang sekitar 10% dari PDB. Permasalahan devisa yang dimiliki Sri Lanka, membuat beberapa negara seperti Kanada mengeluarkan pembatasan perjalanan kepada warganya yang mengunjungi Sri Lanka. Hal ini tentu berdampak negatif pada perekonomian Sri Lanka khususnya di sektor industri Pariwisatanya.
Baca Juga : Ketidakstabilan Ekonomi Argentina Terus Mengalami Sejumlah Tekanan
Selain itu, beban utang luar negeri yang membengkak menjadi salah satu kontributor utama krisis ini. Dengan turunnya pendapatan devisa, Sri Lanka berjuang untuk mengelola utang luar negerinya dengan China, India dan Jepang. Beban utang luar negeri yang besar sekitar $5 miliar dengan China merupakan hasil dari proyek Belt and Road Initiative khususnya pada pembangunan Pelabuhan Hambantota dan Colombo Port City di mana China meminjamkan sejumlah besar dana ke Sri Lanka dengan persyaratan pembayaran yang dinilai kaku.
Dari sisi internal sendiri, keputusan pemerintah dalam melarang penggunaan pupuk kimia dalam rangka transisi pertanian ke 100% organik malah berdampak negatif bagi perekonomian Sri Lanka. Sejumlah ahli berpendapat bahwa undang-undang tersebut akan memiliki dampak yang tragis bagi pembangunan pertanian karena pertanian organik mengurangi produksi hingga setengahnya. Ditambah kenaikan harga bahan pokok seperti beras dan gula dapat memperburuk keadaan.
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa pada akhir 2019 melakukan pemotongan pajak populis. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya pendapatan negara beberapa bulan sebelum pada akhirnya pandemi Covid-19 menghancurkan ekonomi Sri Lanka. Ditambah lagi penerbangan internasional yang dihentikan dan Lockdown yang terus diterapkan. Pengiriman uang dari pekerja luar negeri Sri lanka juga mengering bahkan banyak yang kehilangan pekerjaan. Sejak saat itu pendapatan devisa Sri Lanka memasuki jurang krisis.
Baca Juga : Memahami Sejarah, Tujuan, dan Fungsi IMF
Dari semua faktor tersebut membuat pemerintah Sri Lanka pada bulan Maret mengambangkan Rupee Sri Lanka. Hal ini berarti harganya ditentukan berdasarkan permintaan dan penawaran pasar valuta asing. Langkah tersebut dilakukan untuk memenuhi syarat guna mendapatkan pinjaman dari International Monetary Fund (IMF) dan mendorong pengiriman uang. Akan tetapi, jatuhnya Rupee terhadap dolar AS malah memperburuk keadaan Masyarakat Sri Lanka.
Bagaimana Respon Masyarakat dan Pemerintah Sri Lanka ?
Masyarakat Sri Lanka merasa telah hidup menderita di negaranya, baik karena kekurangan bahan bakar, harga komoditas yang melonjak tinggi, pemadaman listrik yang terjadi terus menerus, kekurangan makanan dan obat-obatan. Amarah yang terus mendidih dan kondisi yang tidak menentu membuat sejumlah masyarakat Sri Lanka bergerak untuk melakukan demonstrasi. Sejumlah video yang beredar menunjukkan para pengunjuk rasa menyerbu beberapa kantor dan rumah anggota parlemen partai yang menjabat dan merusak beberapa tempat.
Di Kolombo yang merupakan kota terbesar di Sri Lanka, ratusan dokter menggelar pawai protes untuk mendesar pemerintah dalam rangka mengatasi kekurangan obat-obatan di rumah sakit yang dikelola oleh negara. Sementara anggota parlemen oposisi berdemonstrasi di Parlemen untuk menuntut agar Presiden Rajapaksa mengundurkan diri dari jabatannya. Di tempat lain di negara itu, sejumlah mahasiswa, pengacara, dan kelompok lain juga memprotes pemerintah dengan turun ke jalan menyuarakan keluh kesahnya.
Massa terus memprotes selama berminggu-minggu baik atas pemadaman listrik yang berkepanjangan, inflasi, kekurangan gas, makanan, dan sejumlah komoditas pokok lainnya. Kemarahan publik ini juga telah mendorong hampir semua menteri Kabinet dan bahkan Presiden Rajapaksa untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Namun, Presiden Rajapaksa telah menolak seruan masyarakat yang menginginkan ia mengundurkan diri dari jabatannya. Ia juga mendesak semua pihak untuk berkerja sama dalam mengatasi tantangan ekonomi yang dihadapi Sri Lanka.
Baca Juga : Presiden Filipina Ancam Hukuman Penjara Bagi Warganya yang Menolak Vaksin
Sebelumnya, Presiden Rajapaksa mengatakan bahwa ia sedang berusaha untuk menyelesaikan permasalahan yang menghantam negaranya. Presiden juga telah meminta sejumlah partai oposisi untuk bergabung dalam upaya mencari solusi untuk krisis nasional. Alih-alih membantu, partai oposisi utama menolak dengan cepat permintaan tersebut dan meminta Rajapaksa harus mundur dari jabatannya sebagai Presiden Sri Lanka. Hal tersebut disusul dengan laporan yang mengatakan sekitar 41 anggota parlemen dikabarkan telah meninggalkan koalisi presiden yang berkuasa untuk mewakili diri mereka sendiri secara independen.
Belum ada Komentar untuk "Sri Lanka Memasuki Jurang Krisis Terburuk Dalam Sejarahnya"
Posting Komentar